Tingkat
ketergantungan akan berita bohong (hoax) di media sosial sepertinya sudah sangat
tinggi. Hampir dipastikan setiap hari akan muncul berita-berita hoax yang
digunakan untuk menggoreng opini masyarakat. Dan anehnya banyak diantara kita
yang sepertinya begitu mudah dan malahan menikmati sajian berita hoax ini. Terbaru
adalah kasus yang menimpa seorang ustadz yang lagi naik daun namanya yaitu
Ustadz Abdul Somad (UAS) terkait penolakan otoritas migrasi Hong Kong untuk
memberikan izin ceramah di negeri bekas koloni Inggris tersebut. Sontak hal ini
memancing beragam sikap terutama sikap mengecam dari para pendukung UAS. Mulai
dari masyarakat biasa hingga geger sampai ke anggota DPR bahkan ketua MPR
mendesak pemerintah Indonesia bersikap.
Saya
melihat tidak ada urgensi apapun selain kepentingan kelompok UAS dalam masalah
ini. UAS sendiri bukan merupakan perwakilan negara yang membutuhkan campur
tangan pemerintah. UAS juga tidak dalam keadaan diancam baik nyawa maupun hartanya
oleh pemerintah Hong Kong sehingga tidak ada alasan logis yang mengharuskan
pemerintah bertindak. Selain itu kunjungan UAS ke Hong Kong sama sekali tidak
ada sangkut pautnya dengan kegiatan pemerintah sehingga apapun yang terjadi
pemerintah tidak memiliki tanggung jawab. Sekadar untuk diketahui juga bahwa
pemerintahan suatu negara dalam hal ini pemerintah Hong Kong berhak melarang
siapa saja warga asing untuk berkunjung ke negaranya tanpa terlebih dahulu
memberitahukan yang bersangkutan karena itu adalah wewenang suatu negara.
Dan
kejadian ini pun ternyata membuat sebagian pendukung UAS menyebarkan berita
hoax termasuk propaganda di media sosial demi memperoleh dukungan. Saya tidak
menggeneralisasi ini dilakukan oleh semua pendukung UAS, tetapi begitu masivnya
berita ini tersebar memunculkan pertanyaan apakah berita ini tidak secara
sistematis disebarkan. Bahkan sampai berita bohong yang menyertakan Sultan Brunei
pun dibuat.
Dan
parahnya para pendukung UAS menyebarkan berita ini secara cepat tanpa pernah
berpikir apakah memang Sultan Brunei mau ikut campur dalam masalah UAS. Memang tidak
ada kerjaan lain dari sang Sultan ini sehingga mau mengurusi persoalan UAS. Apakah
UAS adalah seseorang yang memiliki pengaruh dalam urusan domestik negara Brunei
sehingga Sultan Hassanal Bolkiah harus turun tangan. Apakah juga UAS merupakan
kerabat dari Sultan Brunei. Harusnya pertanyaan ini kita ajukan sebelum
menyebarkan berita tentang UAS dan Sultan Brunei sehingga kita tidak melakukan
dosa sosial dikarenakan menyebarkan berita bohong.
Sebenarnya
dalam kajian kesalahan berpikir, melihat fenomena hoax (berita bohong) ini ada
dua jenis pelaku. Yang pertama adalah pelaku yang memang dengan sengaja
menyebarkan berita bohong dan mereka disebut sebagai kaum sophis. Dalam sejarah
Yunani, kamu sophis ini adalah mereka yang pandai berpidato dan menyampaikan
argumentasi sehingga mampu mempengaruhi pendengarnya. Tujuan mereka adalah
menyesatkan pemikiran pendengarnya serta mengubah opini dengan berita-berita
bohong yang diucapkannya sehingga tujuan propaganda mereka tercapai. Yang kedua
adalah mereka yang terjebak di kesalahan berpikir dan tidak menyadarinya. Mereka
ini disebut sebagai kaum paralogisme. Ini yang banyak menjangkiti masyarakat
Indonesia terutama pengguna media sosial. Lihat saja contoh berita tentang UAS
dan Sultan Brunei. Tanpa dipikirkan terlebih dahulu dan tanpa mencari informasi
yang lebih valid, mereka menyebarkan berita ini. Dukungan kepada UAS yang
merasa diperlakukan tidak adil boleh saja dilakukan tetapi bukan dengan
menyebarkan berita hoax yang justru akan mencoreng UAS dan pendukungnya. Akan banyak
orang yang beranggapan bahwa kecintaan mereka terhadap UAS telah menutup akal
mereka. Sehingga sesuatu yang berhubungan dengan UAS, harus ditampilkan dalam
versi yang mendukung sepak terjang UAS walaupun sebenarnya itu tidak benar.
Ini
sebenarnya sudah sangat darurat. Coba kita lihat di beberapa negara, berita
bohong yang tersebar secara masiv dapat menyebabkan kehancuran seperti yang
terjadi di Suriah. Tidak ada yang berdoa agar ini terjadi juga di Indoensia,
tetapi potensi itu tetap ada. Mudahnya mereka menyebarkan berita hoax ini
selain kecintaan buta terhadap seorang figur dan tentunya ini kesalahan
berpikir, kurangnya literasi ditengarai juga sangat signifikan dalam
memperngaruhi kualitas penerimaan informasi seseorang. Selain itu, kebenciannya
terhadap seseorang akan dengan mudah membuat berita bohong kalau perlu
ditambahi unsur fitnah. Kita bisa lihat bahwa kasus UAS ini digoreng hingga
membentuk opini bahwa pemerintah dan NU yang melakukan ini semua. Kasus UAS ini
hanyalah sebagian kecil dari berbagai berita hoax yang telah mereka sebar.
Umunya
yang melakukan penyebaran berita hoax seperti ini dari para kaum sophis. Mereka
yang akan mengawali postingan berita bohong ini dengan sasaran para kaum
paralogis sehingga akan menyebar dengan cepat. Kita masih ingat kan dengan
kelompok saracen yang begitu terkoordinasi dan masiv dalam menyebarkan berita
bohong. Sebenarnya saracen hanyalah satu dari beberapa kelompok penyebar berita
hoax di media sosial karena buktinya hingga saat ini berita hoax masih
membanjiri forum-forum media sosial. Apalagi momen politik telah dekat dengan
target mereka adalah pilpres 2019.
Comments
Post a Comment