Bagiku tanggal 22 Desember setiap tahunnya
adalah hari yang istimewa. Pertama tanggal 22 desember adalah hari dimana saya
dilahirkan. Hari dimana pertama kalinya saya sebagai manusia menghirup udara
segar bumi yang juga menandakan awal kehidupan. Banyak yang telah saya jalani
sejak hari pertama itu hingga sekarang dan seperti itulah dinamika hidup.
Yang kedua adalah pada tanggal 22 Desember
diperingati juga sebagai hari ibu. Banyak pro dan kontra yang bermunculan
tentang peringatan ini. Ada yang beranggapan bahwa memperingati hari ibu
dibolehkan tetapi ada juga yang tidak menyetujuinya bahkan menganggapnya
sebagai perayaan kaum kafir. Mari kita awali dengan melihat sejarah
ditetapkannya hari ibu itu sendiri.
Hari Ibu dideklarasikan ketika 600 perempuan
dari berbagai latar pendidikan dan usia hadir dalam kongres Perempuan Indonesia
Pertama pada tanggal 22 Desember 1928, di Yogyakarta, tepatnya di pendopo Dalem
Jayadipuran milik Raden Tumenggung Joyodipoero. Kongres ini dihadiri oleh wakil-wakil dari
perkumpulannya Boedi Oetomo, PNI, Pemuda Indonesia, PSI, Walfadjri, Jong Java,
Jong Madoera, Muhammadiyah, dan Jong Islamieten Bond. Organisasi-organisasi perempuan
yang terlibat dalam penyelenggaraan itu antara lain: Wanita Oetomo, Poetri
Indonesia, Wanita Katolik, Aisyah, Wanita Mulyo, perempuan-perempuan Sarekat
Islam, Darmo Laksmi, perempuan-perempuan Jong Java, Jong Islamten Bond, dan
Wanita Taman Siswa Dan seiring perjalanan
panjang sejarah melalui berbagai kongres, maka pada 22 Desember 1953 dalam
peringatan kongres ke-25 melalui Dekrit Presiden RI No.316 Tahun 1953, Presiden
Sukarno menetapkan setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu.
Melihat hal ini, akar sejarah diperingatinya 22
Desember sebagai hari ibu adalah jelas. Baik jelas sebagai sejarah yang
ditetapkan oleh bangsa Indonesia sendiri dan bukan sebagai produk asing apalagi
produk kafir, maupun jelas bahwa penetapannya merupakan representasi dari
organisasi keperempuanan pada saat itu yang terdiri dari organisasi agama,
pendidikan, nasionalis, maupun organisasi kepemudaan. Sejarah inipun semakin
menjelaskan bahwa peringatan ini tidak berakar dari budaya kafir maupun budaya
asing. Ini adalah asli produk Indonesia yang berasal dari beragam suku, agama,
dan budaya.
Maka agak mengherankan jika ada beberapa pihak
yang menganggap peringatan hari ibu menyerupai tradisi-tradisi orang kafir. Kemudian
dikutiplah hadist Nabi SAW:
‘Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia
termasuk bagian dari mereka” (HR Abu Dawud).
Saya tidak menolak tentang keontetikan hadist
itu tetapi apakah setiap yang berasal bukan dari islam atau bukan dari Arab
harus kita tolak dan otomatis kita bagian dari kaum itu ketika kita
melakukannya juga. Nabi SAW pasti tahu bahwa ajarannya akan menyebar ke seluruh
penjuru dunia maka agak sempit pemikiran kita jika memahami hadist ini dengan
tidak membandingkannya dengan hadist lain.
"Diriwayatkan dari Anas, ia berkata:
ketika Rasulullah Saw tiba di Madinah, penduduknya telah memiliki dua hari
(Nairuz dan Mahrajan) yang dijadikan sebagai hari bersenang-senang mereka.
Kemudian Rasulullah bersabda: Sesungguhnya Allah telah menggantikan kedua hari
itu bagi kalian dengan yang lebih baik, yaitu Hari Adlha dan Fitri" (HR
Ahmad No: 12025, Abu Dawud No: 1134, al-Nasai dalam Sunan al-Kubra No: 1755,
Abu Ya'la No 3820, al-Hakim No: 1091, dan ia berkata Hadis ini sahih sesuai
kriteria Muslim)
Artinya yang dapat dipahami dari contoh kedua
hadist ini bahwa tidak mungkin kedua hadist ini bertentangan. Maka akan kita
pahami jika kita melihat kedua hadist ini, Nabi SAW melarang mengikuti tradisi
kaum kafir yang jelas bertentangan dengan hukum agama. Karena Nabi SAW bahkan
tidak melarang perayaan kedua hari raya itu dan justru “memodifikasi” dengan
menggantikannya berupa Idul Fitri dan Idul Adha. Artinya, kedua perayaan ini
lahir dari tradisi sebelum islam dan Nabi SAW tidak melarangnya bahkan melestarikannya.
Hal inipun dilakukan oleh pembawa ajaran islam di nusantara dengan tidak
menghilangkan budaya lokal selama budaya itu tidak melanggar aturan agama. Dan ternyata
dakwah itu berhasil. Coba bandingkan dengan penyebaran islam di Eropa yang
tidak mendapat sambutan hangat dikarenakan dilakukan dengan kekuatan pedang.
Jadi dapat dipahami bahwa islam tidak pernah
melarang untuk mengembangkan budaya suatu kaum selama budaya itu tidak
melanggar agama. Apalagi jika budaya itu baik dan merupakan produk lokal. Begitulah
seharusnya kita bersikap dengan peringatan hari ibu. Peringatan ini tidak
melanggar aturan apapun. Peringatan ini tidak menghilangkan kecintaan kita
terhadap seorang ibu dikarenakan hanya melakukannya di suatu momen. Memperingati
suatu momen tidak serta merta menghilangkan kecintaan kita terhad seorang ibu di
luar hari ibu itu sendiri. Sama dengan Idul Fitri, apakah ketika kita
memperingati Idul Fitri sebagai hari kemenangan, maka apakah di luar hari itu
kita tidak merayakan kemenangan. Pemikiran seperti ini terlalu sempit untuk
memahami universalnya agama dalam memahami kompleksitas budaya di dunia.
Kita tidak mungkin menolak budaya bangsa luar
ketika itu bermanfaat. Bukankah penemu lampu adalah seorang kafir, dan jika
kita konsisten dengan pemahaman hadist yang sempit seperti itu maka seharusnya
lampu pun ditolak karena itu budaya yang ditemukan oleh orang kafir. Bukankah facebook,
twitter, maupun media sosial lainnya yang populer di masyarakat adalah buatan
kafir dan mengapa masih tetap juga digunakan. Bukankah mobil, motor, dan
beberapa kendaraan lainnya adalah produk orang kafir. Jika takut akan menjadi
bagian kaum kafir maka janganlah ikut kebiasaan mereka dengan naik motor maupun
mobil. Silakan naik onta saja atau yang lebih realistis silakan naik kuda
karena stok kuda di Indonesia masih banyak
Comments
Post a Comment