GUS DUR; SANG PEJUANG KEMANUSIAAN

Awalnya saya adalah orang yang sangat tidak sepakat dengan sepak terjang seorang Gus Dur. Ketika beliau menjadi presiden di tahun 2001, umur saya ketika itu baru 13 tahun. Saya saat itu juga masih berstatus sebagai pelajar SMP. Ketika beliau resmi dilantik menjadi presiden, saya sebenarnya bertanya-tanya dalam hati. Mengapa anggota MPR/DPR ini memilih presiden yang memiliki kekurangan fisik seperti Gus Dur. Padahal ada nama lain semisal Amien Rais yang saat itu dijuluki Bapak Reformasi. Ataupun tokoh-tokoh lain yang sebenarnya lebih mumpuni untuk menjadi pemimpin di Negara ini.

Hal itu pun makin bertambah ketika dalam perjalannya banyak kebijakan-kebijakan kontroversi yang dilakukan oleh Gus Dur. Mulai dari perjalan keluar negerinya yang memakan banyak biaya yang oleh sebagian kalangan disebut memanfaatkan jabatan untuk jalan-jalan, keinginannya mencabut Tap MPR yang mengatur tentang kader PKI beserta anak keturunannya, diubahnya nama Irian Jaya menjadi Papua yang bahkan presiden Ir. Soekarno tidak melakukannya, hingga yang paling kontroversi adalah keluarnya dekrit presiden tanpa dukungan dari TNI/Polri yang oleh Amien Rais ketika itu ditanggapi dengan pelengseran dirinya.

Ketika Gus Dur dilengserkan dari tampuk kepemimpinan nasional, saya agak lega dengan kejadian itu. Dengan pemikiran anak SMP yang ketika itu belum tahu bagaimana media dengan kuasanya bisa memutar balikkan fakta, saya pun ikut berbahagia dengan kejadian itu. Saya ketika itu menganggap jika Gus Dur terlalu banyak kontroversi yang memancing kegaduhan nasional sehingga layak dilengserkan. Bahkan saya pun ikut tertawa menyaksikan Gus Dur pasca pelengseran dirinya keluar istana dengan memakai baju kaos dan celana pendek. Mengapa ada presiden seperti itu, yang kesannya tidak punya wibawa. Katanya akan ada jutaan pengikutnya yang ke Jakarta untuk mendukungnya, tapi nayatanya tidak ada. Hal itu makin menambah keyakinan saya jika pelengseran Gus Dur dari tampuk adalah sesuatu yang tepat. Selain kebijakannya yang kontroversi, banyak pula ucapannya yang tidak terbukti.

Tahun pun berlanjut pasca Gus Dur lengser dari kursi kepresidenan dan kelihatannya Indonesia baik-baik saja. Saya pun telah memasuki jenjang perkuliahan. Di jenjang inilah cakrawala berpikir saya dalam melihat manusia beserta fenomenanya dapat lebih terbuka. Dalam bahasa kerennya, ada redefinisi tentang manusia itu sendiri. Dan itupun berdampak pada pandangan saya terhadap Gus Dur. Lewat diskusi dan kajian yang saya lakukan, pemikiran saya tentang sosok Gus Dur perlahan-lahan mulai berubah. Saya tidak lagi melihat Gus Dur sebagai seseorang yang memiliki kekurangan fisik karena itu bukanlah substansi dari nilai kemanusiaan, tetapi pandangan saya kepada Gus Dur lebih terarah bagaimana beliau sangat mengutamakan nilai-nilai keindonesiaan dan kemanusiannya tanpa mengharapkan pengakuan dari pihak lain.

Jika awalnya saya adalah orang yang termasuk menuduh Gus Dur memanfaatkan jabatannya untuk jalan-jalan keluar negeri, maka ketika kuliah pemikiran itu telah jauh berubah. Saya paham bahwa kunjungan Gus Dur keluar negeri yang memakan biaya yang sangat banyak tidak itu akan sebanding jika negara ini mengalami disintegrasi. Banyak orang yang salah kaprah dalam memahami apa yang dilakukan oleh Gus Dur. Beliau melakukan perjalanan ke luar negeri dalam rangka membujuk negara-negara lain yang bersimpati dengan gerakan separatis di dalam negeri untuk tidak melanjutkan dukungannya. Kita paham kan bahwa sebelum Gus Dur menjadi presiden, Timor Leste akhirnya berpisah dari pangkuan ibu pertiwi di periode presiden sebelumnya. Kita pun sama-sama tahu bahwa ketika itu juga ancaman desintegrasi bangsa menganga dengan sangat besar. Ada Aceh, Maluku Selatan, hingga Papua yang memiliki gerakan separatais. Dengan kunjungan Gus Dur ke negara penyokong gerakan separatis itu, maka diharapkan gerakan tersebut tidak memiliki kekuatan secara internasional. Inilah yang dimaksud bahwa Gus Dur memiliki wawasan kebangsaan yang sangat bagus dan melampaui pemikiran masyarakat Indonesia pada umumnya.

Kemudian tentang pencabutan TAP MPR yang berkaitan dengan kader PKI beserta anak cucunya, saya melihat Gus Dur berusaha mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia termasuk kepada mereka yang merupakan keturunan kader PKI. Gus Dur tidak takut jika dilabeli antek PKI karena baginya anak cucu dari kader PKI tersebut tidak seharusnya menanggung dosa yang tidak dilakukan oleh orang tuanya. Seperti seorang pencuri, maka yang harus dihukum adalah pencuri dan bukan istri atau anak dari pencuri tersebut. Begitupun anak yang kebetulan secara biologis lahir dari keturunan kader PKI. Silakan menghukum sesuai dengan aturan yang berlaku jika kader PKI tersebut memang terlibat dalam peristiwa G30S, tetapi biarkanlah anaknya mendapatkan haknya sebagai warga negara sama dengan warga negara lainnya. Dan lagi-lagi dengan propaganda media yang begitu licik memposisikan Gus Dur seolah-olah pendukung PKI, maka sebagian masyarakat Indonesia tidak sepakat dengan keputusan Gus Dur ini. Padahal apa yang dilakukan oleh Gus Dur hanyalah amanat dari pancasila terutama sila ke lima tentang keadilan socsal bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan Gus Dur telah melampuai jauh pemikiran kebanyakan masyarakat Indoesia dalam hal kemanusiaan. Dalam hal bagaimana memperlakukan sama adilnya seluruh masyarakat Indonesia.

Tentang perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, saya pikir Gus Dur punya keberanian yang luar biasa. Gus Dur dengan pertimbangan yang matang, memberikan kebebasan kepada rakyat Papua untuk mengubah nama provinsinya. Termasuk pula bagaimana Gus Dur memandang bendera OPM tidak jauh berbeda dengan bendera partai politik sehingga tidak dimaknai sebagai ancaman yang menakutkan. Gus Dur pula telah berhasil mengubah pendekatan kepada rakyat Papua yang selama ini identik dengan pengiriman anggota TNI/Polri sebagai respon atas kejadian disana, maka pendekatannya ketika itu lebih ke arah persuasif dan memahami apa sebenarnya yang diinginkan oleh rakyat Papua. Maka tak heran jika Gus Dur mendapatkan kehormatan di mata masyarakat Papua atas jasa-jasa yang telah dilakukannya.

Yang paling kontroversi adalah keputusannya mengeluarkan dekrit presiden. Dekrit yang tidak didukung oleh TNI/Polri ini akhirnya menjadi senjata Amien Rais untuk menjatuhkan Gus Dur dari tampuk kepemimpinannya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Kejadian ini sebenarnya telah membawa Indonesia ke arah perpecahan. Seperti yang kita ketahui, Gus Dur adalah presiden yang didukung oleh kalangan NU dengan memiliki basis massa sekitar 60 juta. Ketika itu (menurut pengakuan Gus Dur sendiri) ada jutaan massa yang sudah siap ke Jakarta sebagai bentuk penolakan pelengseran Gus Dur. Tetapi Gus Dur malah sebaliknya melarang mereka berangkat ke Jakarta.

Saya melihat jika fenomena ini adalah sesuatu yang luar biasa. Tidak mudah bagi seseorang yang telah memiliki posisi tinggi, merasa tidak melakukan kesalahan apapun dan didukung oleh massa yang luar biasa untuk menerima sebuah keputusan pelengseran dirinya. Gus Dur melakukan itu dan dia lebih memilih untuk mengalah. Ini bukan keputusan yang dilandasi oleh ketakutan semata, tetapi keputusan ini justru memperlihatkan jika Gus Dur adalah sosok negarawan sejati. Baginya kedudukan sebagai presiden tidak lebih berharga jika dibandingkan dengan kesatuan bangsa ini. Gus Dur memilih untuk melarang massanya datang ke Jakarta karena pastilah akan terjadi bentrokan yang hebat dan bisa menimbulkan perang saudara. Gus Dur lebih memilih mengutamakan persatuan daripada sebuah jabatan. Dan inilah salah satu sifat mulia Gus Dur yang bahkan sebagian kalangan tidak memahami itu.

Sesudah beliau menjadi presiden, perjuangan Gus Dur untuk melakukan pembelaan terhadap kaum-kaum yang tertindas tetap dilakukannya. Gus Dur tidak peduli jika ia banyak mendapat penentangan karena membela golongan minoritas tertindas seperti ahmadiyah dan beberapa kalangan minoritas lainnya. Ada yang bahkan terang-terangan membenci Gus Dur hingga mencacinya dengan umpatan “Buta Mata Buta Hati”. Itu bahkan dilakukan oleh pimpinan sebuah ormas islam. Tidakkah ia sadar jika Gus Dur punya garis keturunan sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Dan Gus Dur pun tidak membalas umpatan itu karena beliau sadar jika membalas umpatan itu, maka saat itu nilai-nilai kemanusiaannya telah hilang. Gus Dur juga tidak menggerakkan massanya untuk melakukan aksi-aksi berjilid dengan isu penghinaan terhadap ulama. Sangat berbeda dengan ulama zaman sekarang yang begitu cengeng dalam permasalahannya. Gus Dur jauh di atas mereka. Gus Dur juga telah melampaui dimensi kemanusiaan mereka.


Seperti sebuah balasan, mereka yang memusuhi Gus Dur dengan tindakan dan umpatannya telah menuai akibatnya. Kita lihat bagaimana Amien Rais yang menjadi aktor di balik pelengseran Gus Dur tidak lagi memiliki karir politik yang cemerlang pasca menduduki jabatan ketua MPR. Ada juga politisi Bachtiar Chamsyah yang ketika itu menjadi ketua pansus dengan tujuan melengserkan Gus Dur lewat Buloggate akhirnya mendekam di dalam penjara. Tak ketinggalan Habib Rizieq yang mengumpat Gus Dur dengan sebutan buta mata dan buta hati menjadi buronon dengan tersangka kasus chat mesum. Coba bayangkan, seorang yang mengaku sebagai keturunan Nabi menjadi tersangka kasus chat mesum, bukankah itu tamparan bagi mereka yang mengaku sebagai keturunan nabi di negeri ini. Saya berkeyakinan jika Allah SWT memberikan balasan yang layak bagi mereka yang telah mendzolimi Gus Dur. Bagiku, Gus Dur adalah pahlawan bangsa di bidang kemanusiaan. Keteladanannya akan terus menjadi contoh bagi para pejuang kemanusiaan di negeri ini. Saya rindu dengan orang sepertimu Gus, 8 tahun kau telah meninggalkan kami (30 Desember 2009 – 30 Desember 2017).


Comments