Pada hari Kamis tanggal 14 Desember 2017 Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji
materi Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang diajukan oleh Guru Besar IPB Euis Sunarti bersama sejumlah pihak. Ada tiga pasal KUHP yang dimohon untuk diuji oleh
Mahkamah Konstitusi yaitu:
1.
Pasal 284 tentang
perzinahan, yang tadinya terbatas dalam kaitan pernikahan dimohonkan untuk
diperluas ke konteks diluar pernikahan;
2.
Pasal 285 tentang
perkosaan, yang tadinya terbatas laki-laki terhadap perempuan, dimintakan untuk
diperluas ke laki-laki ke laki-laki ataupun perempuan ke laki-laki;
3.
Dan Pasal 292
tentang percabulan anak, yang asalnya sesama jenis laki-laki dewasa terhadap
yang belum dewasa dimintakan untuk dihilangkan batasan umurnya.
MK menilai dalil para pemohon tersebut tidak beralasan
menurut hukum. Dalam pertimbangannya, MK menjelaskan
pada prinsipnya permohonan pemohon meminta MK memperluas ruang lingkup karena
sudah tidak sesuai dengan keadaan masyarakat. Sehingga hal ini berakibat pada
perubahan hal prinsip atau pokok dalam hukum pidana dan konsep-konsep dasar
yang berkenaan dengan suatu perbuatan pidana. Artinya, secara substansial
pemohon meminta MK merumuskan tindak pidana baru yang merupakan wewenang
pembentuk undang-undang.
Sedangkan MK sendiri tidak memiliki kewenangan
untuk merumuskan tindak pidana baru sebab kewenangan tersebut berada di tangan
Presiden dan DPR sehingga MK tidak boleh masuk ke dalam wilayah politik hukum
pidana. Jadi harus dipahami bahwa produk hukum pidana lahir dari kebijakan
pidana atau politik hukum pidana pembentuk undang-undang dan MK tidak boleh
masuk wilayah politik hukum pidana. Selain itu harus
dipahami bahwa MK adalah negatif legislator yang berarti hanya bisa menghilangkan
norma yang ada dalam suatu Undang-Undang bila bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945 dan MK tak bisa menambahkan norma baru ke dalam Undang-Undang
tersebut. Logikanya seperti ini misalnya mengapa sidang tilang kendaraan tidak
bisa dilakukan di Pengadilan Agama, mengapa pula sidang kasus korupsi tidak
bisa dilakukan di Pengadilan TUN, mengapa juga tidak bisa menggugat cerai di
International Criminal Court, dan lain sebagainya. Artinya masing-masing
punya wewenang yang telah ditetapkan dan tidak boleh melampaui wewenang itu.
Hal inilah yang banyak disalahartikan oleh
masyarakat awam dan hebatnya narasi yang terbangun seolah-olah MK melegalkan
LGBT. Sehingga pada akhirnya propaganda ini sebenarnya mempunyai tujuan yang
lebih luas yaitu kepada pemerintahan Jokowi. Banyak status yang berkembang di
media sosial termasuk dari tulisan-tulisan propaganda lainnya yang tertuju
kepada pemerintahan ini dengan menuduh bahwa ini adalah buah dari kebijakan
pemerintahan Jokowi yang melegalkan LGBT padahal putusan ini adalah putusan MK
dan ranah MK adalah ranah yudikatif yang tidak dapat diintervensi oleh Presiden
sebagai pihak eksekutif. Saya melihat hal ini diakibatkan oleh rendahnya
pemahaman masyarakat tentang pembagian kekuasaan (trias politica) dalam konsep demokrasi selain kebencian yang
mendalam tentunya terhadap rezim Jokowi. Dan ironisnya inilah yang banyak
menjangkiti masyarakat dunia maya kita. Dengan begitu narasi yang tebangun
rezim Jokowi pro LGBT dan akibatnya adalah gempa setelah amar putusan MK itu
keluar. Padahal jokowi sebagai eksekutif dan MK sebagai yudikatif memiliki
tupoksi yang berbeda. Pola pikir yang seperti ini dalam kajian
kesalahan berpikir termasuk ke dalam kategori:
1. Post
hoc ergo propter hoc yaitu kesalahan
berpikir yang menghubungkan sesatu yang tidak berhubungan. Pertama menghubungkan
bahwa MK telah melegalkan LGBT dengan menolak permohonan pemohon terkait
perluasan tafsir Pasal
284, Pasal 285 dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Padahal
MK hanya menjalankan wewenangnya dengan tidak masuk ke dalam ranah politik hukum
pidana. Kedua mencoba memaksakan bahwa putusan ini akibat kebijakan
pemerintahan Jokowi padahal ini adalah keputusan yudikatif dan Presiden sebagai
lembaga eksekutif tidak berwenang.
2. Argumentum ad hominem yaitu kesalahan
berpikir dalam berargumentasi lebih menitikberatkan pada lawan bicara dan bukan
pada pokok persoalan atau yang lebih dikenal dengan istilah personal attack. Kita bisa lihat
dikarenakan kebencian yang mendalam terhadap rezim Jokowi, semua kebijakan
walaupun itu bukan kebijakan Jokowi akan coba dipaksakan menjadi kebijakan Jokowi.
Sehingga yang terlihat adalah kritik yang terjadi bukan pada kinerja Jokowi
tetapi sudah mengarah kepada serangan pribadi Jokowi.
Semoga kita semua dapat memahami persoalan ini
secara cermat sehingga dapat meminimalisir narasi-narasi yang tidak bertanggung
jawab yang banyak bertebaran di media sosial. Jadi hoax mana lagi yang kau akan
dustakan?
Comments
Post a Comment