Sejarah peringatan syahidnya Husain bin Ali sekaligus cucu dari Nabi Muhammad SAW yang biasa disebut Asyura bukan hanya monopoli ritual dari mazhab tertentu semata. Tetapi ritual ini merupakan milik sebagian besar umat islam. Kegiatan ini pun banyak dilakukan di beberapa negara baik itu di Asia terutama di Asia Barat seperti di Iran, Irak, Suriah, Turki, di Eropa seperti di Inggris, di Amerika Serikat, hingga di beberapa Negara Afrika seperti Mesir, Nigeria, dan sebagainya. Pelaksanaanya pun bermacam-macam, ada yang memperingati dengan menyelenggarakan majelis-majelis duka, menyelenggarakan pertemuan yang didalamnya ada ceramah-ceramah tentang peristiwa itu, maupun memperingatinya dalam bentuk lain. Bahkan dalam sejarah di Nusantara, banyak yang mencatat bahwa peringatan asyura ini dilakukan dengan berbagai metode. Ada kegiatan tabuik di Sumatera. Ada bubur suro di pulau Jawa hingga berbagai metode lainnya dalam mengenang dan memperingati peristiwa ini. Dan patut pula dicatat jika metode yang dilakukan ini telah berlangsung turun temurun, sebelum terbentuknya Republik Indonesia, dan jauh sebelum paham wahabi menyebar di nusantara. Maka akan menjadi sebuah pertanyaan besar jika ada sekelompok dari mereka yang merasa terganggu dengan adanya pelaksaan peringatan ini.
Berbagai
kasus pelarangan pun muncul di berbagai daerah di nusantara. Terbaru pada
peringatan asyura di Makassar, ada sekelompok orang yang berusaha menggagalkan
peringatan asyura. Mereka mengklaim jika dalam peringatan asyura yang
dilakukan, ada terselip sebuah doa yang penuh kebencian dan ditujukan kepada
tokoh yang mereka agungkan. Hal inipun dipertegas oleh salah satu pimpinan yang
memotori aksi mengancam akan mempolisikan mereka yang terlibat dalam
kegiatan asyura itu karena disinyalir melakukan penistaan agama. Dan melihat
gelagat ini, saya pun merasa heran sembari hendak marah tetapi merasa lucu. Barang
bukti yang diklaim oleh para kelompok intoleran ini pun tidak bisa membuktikan
jika dokumen doa yang dibagikan mencantumkan penghinaan terhadap tokoh yang
mereka agungkan. Saya melihat bahwa mereka lebih mengutamakan prasangka daripada
pembuktian materil yang ujung-ujungnya terbelunggu dalam kejumudan berpikir
sehingga walaupun tidak ada bukti, tuduhannya pun dianggap benar. Bukankah ini
aneh bin ajaib.
Dalam
kajian kesalahan berpikir, mereka ini terjebak di argumentum ad hominem. Dijelaskan bahwa cara berpikir seperti ini melihat
kesalahan seseorang bukan pada perbuatannya, tetapi pada diri atau kelompok
mereka yang dalam bahasa umum disebut personal
attack. Tidak penting pembuktian apakah memang ritual asyura itu benar atau
tidak, intinya karena yang melakukan adalah syiah (yang bagi mereka kelompok
sesat padahal diakui sebagai mazhab resmi di Universitas Al Ahzar dan diakui
pula dalam Deklarasi Amman sebagai mazhab resmi dalam islam) maka segala yang
dilakukan pun harus dicap salah. Bahkan hukum pun sepertinya berada di bawah
alam sadar mereka.
Pun
jika kita mengaitkan dengan iklim negara yang menjunjung tinggi kebebasan
beragama dan berkeyakinan, ada sekelompok manusia yang melakukan tindakan
persekusi sedangkan negara dan stakeholder
yang berada si situ seperti melakukan pembiaran. Pengelola tempat
dilaksanaknnya kegiatan asyura ini (dalam hal ini pihak hotel) sepertinya
melakukan pembiaran padahal lokasinya telah disewa dan disetujui. Bahkan
kegiatan dunia gemerlap malam yang masih dalam satu kompleks di hotel tersebut
aman-aman saja dengan sistem keamanan yang ketat padahal itu adalah kegiatan
yang sia-sia dan bisa berujung maksiat. Hebat pula kelompok yang melakukan
persekusi ini lebih merasa berkewajiban membubarkan acara mengenang syahidnya
cucu kesayangan Rasulullah SAW daripada membubarkan pesta gemerlap dunia malam
yang nota bane masih berada satu
kompleks di hotel itu. Ini ada apa sebenarnya. Apakah periuk nasi yang
diberikan tempat “melepas malam” tersebut lebih berharga daripada menghormati
mereka yang mengenang syahidnya cucu Nabi Muhammad SAW. Bukankah ini bagian
dari mencintai Al Qurba seperti yang disebutkan dalam surah Al-Syura [46] ayat 23
"Itulah
(karunia) yang (dengan itu) Allah memberikan berita gembira kepada
hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal saleh. Katakanlah, “Aku tidak
meminta kepadamu suatu upah pun atas seruanku ini kecuali kecintaan kepada
keluargaku.” Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya
kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Mensyukuri."
Semua
ulama ahli tafsir seperti Ibnu Abbas menukilkan setelah Nabi Muhammad SAW
melakukan hijrah/perjalanan ke Madinah, kaum Anshar
melakukan pembicaraan mengenai rencana mendirikan sistem pemerintahan Islam. Di
akhir pembicaraan tersebut mereka sepakat untuk menghadap kepada Rasulullah SAW.
Kepada Rasulullah Saw perwakilan dari mereka berkata,
“Untuk kemajuan
Islam dan untuk mengatur urusan-urusan publik maka anda membutuhkan dana dan
kemampuan ekonomi. Karenanya semua kekayaan yang kami miliki dan apapun yang
bermanfaat dari kami berada di bawah pengelolaan Anda. Jika Anda memandang
suatu maslahat maka gunakanlah untuk itu, dan ini akan menjadi kebanggaan
kami.”
Setelah mereka menyampaikan hal tersebut, maka turunlah ayat ini. Bahwa upah dan balasan dari risalah yang disampaikan Nabi Muhammad Saw adalah kecintaan kepada keluarganya, bukan upah berupa kekayaan materi dan hal-hal yang bersifat duniawi lainnya.
Pertanyaannku juga menyasar begitu mudahnya kegiatan ini dibubarkan padahal telah dijaga aparat keamanan. Toh konser yang melibatkan puluhan ribu orang yang intens digelar di anjungan pantai maupun lapangan dapat berjalan dengan tertib sementara menjaga kegiatan asyura yang dihadiri ratusan orang sangat tidak bisa dilakukan padahal pelaku intimidasi kaum intoleran hanya berjumlah puluhan orang. Bukankah Negara harus hadir dan mewujudkan kebebasan beragama dan berkeyakinan sesuai dengan UUD pasal 29 ayat 2 yaitu,
“Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.”
Perbedaan
tafsiran keagamaan harusnya saling dihargai dan dihormati bukan malah melakukan
persekusi dan yang lebih parah memfasilitasi persekusi itu. Sudah cukup
bagaimana kehidupan para pengungsi Sampang yang sekarang tinggal di Sidoarjo
mengalami diskriminasi hanya karena mereka minoritas. Padahal mereka adalah
warga Negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Bukankkah pula pengusiran
yang dilakukan terhadap mereka adalah bentuk penjajahan terhadap sesama bangsa
sendiri. Dan mirisnya penjajahan ini dibiarkan oleh para pemuka agama dan pejabat
pemerintahan lokal.
Bahkan
banyak diantara mereka yang begitu getol ingin menjadi pahlawan untuk mereka
yang nun jauh disana seperti di Palestina dan Rohingnya, tetapi justru menjadi Zionis
Israel di Indonesia dengan mengusir sekelompok manusia hanya karena perbedaan
penafsiran keyakinan. Tindakan mereka ini merupakan analogi yang tepat dengan
kekejaman Zionis Israel terhadap Palestina dan kekejaman ekstrimis Budha
terhadap muslim Rohingnya. Mereka punya motif yang sama, melakukan pembantaian
hingga genosida atas dasar perbedaan. Belum terlupakan juga pengungsi ahmadiah
di Mataram yang hingga saat ini menjadi pengungsi di negara sendiri. Belum lagi
di daerah-daerah lain. Dan sekarang tindakan diskriminasi, persekusi, dan
kebencian terhadap golongan tertentu begitu masiv pula di media sosial. Banyak
dari kita yang justru menikmati keadaan ini. Entah mereka sebagai pembuat
kebijakan yang sengaja membuat konflik, maupun mereka yang menikmati karena
adanya sentimen kelompok yang terjadi karena sikap ekslusif terhadap perbedaan.
Anomali,
dan memang seperti itulah yang terjadi di negara yang berbhinneka ini. Tindakan
persekusi dan diskriminasi sebenarnya bukan terjadi karena banyak yang
melakukan tindakan itu. Tetapi terjadi karena banyaknya orang yang baik dalam
hal ini mereka yang moderat dan mencintai kebhinnekaan hanya diam melihat
fenomena ini. Kebebasan beragama dan berkeyakinan hanya akan menjadi penghias Undang-Undang
Dasar yang tidak terpalikasi jika para orang baik ini hanya diam dan membiarkan
tindakan persekusi serta diskriminasi merajalela. Dan diperparah pula jika para
pejabat pemerintah lokal maupun pusat memfasilitasi ini dengan alasan mereka
sesat. Padahal istilah sesat itu sangat subjektif dan tidak memiliki unsur
pidana di hukum kita.
Bayangkan
saja jika ada lembaga yang seenaknya mengeluarkan pandangan sesat hanya karena
perbedaan penafsiran keagamaan, maka runtuhlah pula semangat kebebasan beragama
dan berkeyakinan di negara ini. Runtuhlah pula perjuangan para pendahulu kita
yang begitu gigih menyusun UUD ini hanya karena nafsu serakah oleh mereka yang
telah mengalami kecanduan keyakinan. Maka seketika itupun pemikiran ini kembali
tertuju kepada pemikiran yang telah lama muncul namun tidak usaang ditelan
zaman, “keyakinanmu adalah candu”.
Comments
Post a Comment