Mungkin
sebagian besar dari kita yang berada di republik ini tidak pernah berpikir bahwa
PKI, Orde Baru, dan Radikalis agama adalah sesuatu yang memiliki korelasi dan
banyak persamaan. Memang secara aksiden, ketiga entitas ini kadang terlihat
berbeda dan bahkan cenderung bertolak belakang. Tetapi sebenarnya dalam
mencapai tujuannya, mereka memiliki banyak sekali persamaan. Sebelum lebih jauh
membahas korelasi dan persamaannya, mari kita membahas penjelasan masing-masing
dari ketiga entitas ini.
PKI
adalah sebuah partai yang berideologi komunisme yang dalam sejarahnya telah 3
kali melakukan pemberontakan (dengan latar belakang yang berbeda-beda). Dalam sejarahnya
PKI awal mulanya dibentuk oleh Henk Sneevliet dan kaum sosialis Belanda sebagai
sebuah perkumpulan Serikat Tenaga Kerja di pelabuhan pada tahun 1914 dengan
nama Indische Sociaal Democratische
Vereeniging (ISDV). Para anggota
ISDV ini memperkenalkan ide-ide Marxis untuk mengedukasi orang-orang Indonesia melakukan
perlawanan terhadap rezim kolonial. Karena ajarannya yang sangat kental dengan
propaganda anti kapitalisme dan penjajahan, organisasi ini cepat berkembang
dengan menarik banyak penduduk pribumi untuk bergabung baik dari kaum latar
belakang agama maupun nasionalis (jadi sebenarnya antara sosialisme/komunisme
tidak memiliki sangkut paut secara langsung dengan paham atheisme). Dalam perjalannya,
pada kongres ISDV di Semarang Mei 1920, organisasi ini berubah menjadi Perserikatan
Komunis Hindia (PKH)1. Pada tahun 1924 sebagai hasil dari Kongres
Komintern Ke-V, maka PKH berubah nama menjadi partai komunis Indonesia (PKI)2.
Pada
November 1926, PKI melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan kolonial Belanda
(walaupun sebenarnya konteks yang berlaku pada saat itu adalah perlawanan terhadap
pemerintahan kolonial). Perlawanan ini dipimpin oleh Alimin dengan dukungan Muso
yang pada saat itu yang berada di luar negeri walaupun sebenarnya mendapat
penentangan dari kalangan internal sendiri seperti dari Tan Malaka. Pemberontakan
ini pun dihancurkan dengan brutal oleh pemerintahan kolonial dengan ribuan
orang terbunuh dan sisanya yang tertangkap banyak yang dibuang ke Boven Digul, Papua.
Pada
September tahun 1948 sebagai penolakan terhadap penandatanganan Perjanjian
Renville antara pemerintah Indonesia dengan pemerintahan Belanda yang dianggap lebih
menguntungkan Belanda, PKI melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan sah Indonesia
dengan membentuk Republik Soviet Indonesia di Madiun dengan Muso sebagai Presidennya
dan Amir Syarifuddin sebagai Perdana Menteri. Pemberontakan ini dapat
dipadamkan setelah Madiun sebagai pusat aksi PKI berhasil diambil alih oleh TNI
dari divisi siliwangi. Walaupun begitu, pasca kejadian tersebut PKI tidak
dibubarkan dan tetap berkembang pesat di Indonesia.
Pada
tahun 1950, PKI kembali menyusun kekuatan dengan berbagai
propaganda-propagandanya yang banyak menyisir kaum buruh dan tani yang dalam
perspektif mereka disebut sebagai kaum proletar. Hingga akhirnya PKI mencapai
ketenaran pada pemilu pertama tahun 1955 dan berhasil masuk 4 besar. Bahkan diprediksi
pada pemilu yang direncakan pada tahun 1970, PKI akan menjadi partai pemenang
pemilu dengan massa ril sebanyak 15 juta (angka yang sangat fantastis pada masa
itu). Bahkan D.N. Aidit sebagai orang paling berpengaruh pada saat itu di tubuh
PKI dengan berani berpendapat bahwa jika sosialisme telah terwujud sesuai
dengan cita-cita kaum komunis, maka pancasila sudah tidak dibutuhkan lagi. Indikasi
penentangan terhadap pancasila mulai muncul diantara para kader PKI pada saat
itu dengan keyakinan massa ril dan konstituen yang sangat besar. Sikap seperti
ini memiliki persamaan dengan gerakan-gerakan radikalis agama maupun gerakan
makar lainnya. PKI, PRRI/PERMESTA, maupun DI/TII adalah gerakan yang sangat
berbahaya di masanya. Semua gerakan ini bertujuan melakukan instabilitas
pemerintahan dalam hal ini Bung Karno beserta kabinetnya dan Negara (Pancasila
sebagai dasarnya). Ada yang merongrong kewibawaan pemerintahan Soekarno dan
berupaya mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan ideologi lain seperti
komunisme maupun dasar agama.
PRRI/PERMESTA
dan DI/TII telah ditumpas terlebih dahulu oleh Presiden Soekarno. Sedangkan PKI
adalah partai resmi salah satu pemenang pemilu pertama sehingga Presiden Soekarno
tidak mungkin membubarkan begitu saja partai ini walaupun ada indikasi ingin
mengubah ideologi negara seperti yang hendak dilakukan DI/TII. Apalagi PKI
diprediksi akan menang pada pemilu berikutnya di tahun 1970. Tetapi sebelum
hajatan besar pemilu 1970 dilaksanakan, terjadi peristiwa tragis September 1965
yang ikut menyerat PKI. Ada banyak versi tentang siapa dalang di balik
peristiwa tragis ini yang mengorbankan beberapa jenderal TNI, baik mereka
sebagai korban pembunuhan maupun sebagai tersangka terpidana G30S. Ada yang
menyatakan PKI sebagai dalang dari peristiwa itu dimana pemimpin operasi itu
yaitu mantan Letkol Untung adalah pasukan Tjakrabirawa (pengawal presiden) yang
merupakan kader binaan PKI di lingkup TNI serta sang sutradara Sjam
Kamaruzzaman yang oleh sebagian pihak diyakini sebagai agen ganda. Ia dapat
bertindak sebagai agen PKI, maupun sebagai agen para pihak yang mempunyai kepentingan
di gejolak politik pada saat itu.
Kedua
tokoh sentral ini sebenarnya memiliki keterikatan dengan Soeharto (tokoh
sentral orde baru). Untung adalah bawahan dari Soeharto ketika keduanya
bertugas di Kodam Diponegoro3. Selain itu kehadiran Soeharto dan Tien
Soeharto pada saat pernikahan Untung di Kebumen, Jawa Tengah sebelum peristiwa G30S,
semakin menunjukkan kedekatan kedua tokoh ini. Bukankah kehadiran seorang
komandan di pernikahan anak buahnya adalah sebagai ikatan yang dekat? Setali tiga
uang dengan Untung seperti pengakuan mantan Kolonel Latief sebagai terpidana
G30S, Sjam Kamaruzzaman adalah orang yang memiliki kedekatan dengan soeharto. Pada
saat serangan umum 1 maret di Yogyakarta, sjam bersama Soeharto4.
Artinya
para tokoh kunci PKI yang bermain di G30S seperti Untung dan Sjam Kamaruzzaman
memiliki andil dalam terbentuknya orde baru pasca keruntuhan orde lama. Soeharto
memanfaatkan loyalitas Untung terhadap Presiden Soekarno dengan melontarkan isu
dewan jenderal sehingga terjadilah penculikan para jenderal tersebut. Sedangkan
di sisi lain, Soeharto memanfaatkan sikap oportunis Sjam sebagai agen ganda
yang justru lebih memainkan peran daripada untung pasca dikumpulkannya para
jenderal di lubang buaya. Naiknya Soeharto dengan orde barunya tanpa disadari
banyak mengadopsi sistem perpolitikan negara-negara komunis. Sistem perampingan
partai pun dilakukan dengan bahasa fusi partai (tetapi saya lebih suka
menyebutnya pembatasan partai). Para partai islam dikumpulkan menjadi Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan para partai nasionalis dikumpulkan menjadi Partai
Demokrasi Indonesia (PDI). Sebenarnya bahasa fusi partai tidak lebih dari
pembatasan hak demokratis warga negara dalam berserikat dan berkumpul dan ciri
ini pun melekat di banyak negara komunis. Bahkan dalam sejarahnya kedua partai
ini, baik PPP dan PDI hanya menjadi pelengkap dalam setiap pemilu yang diselenggarakan
oleh pemerintahan orde baru karena pemenang pemilu pastilah dari Golongan Karya
(Golkar) sebagai kekuatan politik pemerintah.
Dan
sekarang setelah orde baru tumbang, justru ada beberapa pihak yang
merindukannya terutama dari mereka yang disebut para “pembela islam” tetapi
saya justru melihat mereka ini radikalis oportunis. Tidak ingatkah para perindu
orde baru ini tentang peristiwa malari? Atau peristiwa penyerbuan masjid oleh rezim
represif di tanjung priok yang menelan korban jiwa dan bahkan oleh Soeharto
penyerangan itu direstuinya karena menganggap mereka semua adalah perusak
stabilitas negara. Dan sekarang umat islam mau saja dibohongi oleh para radikal
oportunis ini. Serta masih banyak lagi kejahatan-kejahatan HAM dan politik orde
baru yang sangat sayang untuk kita lupakan begitu saja.
Sejarah
tidak boleh dilupakan seperti kata Presiden Soekarno “JAS MERAH” (jangan
sekali-kali melupakan sejarah) karena bisa saja sejarah itu terulang kembali. Mungkin
ke depannya bukan lagi PKI atau DI/TII yang ingin mengubah dasar negara menjadi
komunis maupun dasar agama tetapi substansi gerakannya sama. Dan contoh yang
terdekat adanya ISIS dan HTI yang meronrong pancasila sebagai dasar sebuah negara
dan menolak sistem negara bangsa persis yang dikemukakan oleh Freidrich Engels pada
pertemuan Liga Komunis Internasional di London mei 1847 bahwa para kaum buruh
tidak memiliki tanah air5 (jelas konsep internasionalisme dianut
oleh para komunis dan radikalis seperti ISIS dan HTI). Ataukah juga sejarah
kelam tragedi G30S 1965 akan terulang dengan gaya yang sedikit berbeda tetapi
subtansi gerakan sama. Propaganda-propaganda murahan di jaman dahulu digantikan
dengan berita hoax (bohong nan menyesatkan) untuk mendestabilisasi pemerintahan
sehingga menimbulkan ketidakpercayaan rakyat yang diharapkan pada jatuhnya
pemerintahan.
Jadi
sudah jelaskah korelasi PKI, Orde Baru, dan Radikalis?
1.
Sinaga,
Edward Djanner. Communism and the Communist Party in Indonesia (MA thesis). George
Washington University School of Government. (1960). Hal 2;
2.
George
McTurnan Kahin. Nationalism and Revolution in Indonesia. Cornell University Press:
Ithaca. New York. 1952. Hal 77;
3.
Pambudi,
A. Siapa Dalang G30S?. Media Pressindo. Yogyakarta. 2013. Hal 280;
4.
Mereka
Melakukan Perintah Sjam. Detak No. 012. 19 September – 5 Oktober 1997;
5.
Sardo.
Meruntuhkan Paham Sesat Kebangsaan. Resist Book, Yogyakarta. 2005. Hal ix.
Comments
Post a Comment