Apa yang salah dengan kostum mereka? Hanya karena pakaian mereka bukan budaya dari salah satu Provinsi yang ada di Indonesia, maka kita berhak olok-olok? Tentunya budaya cadar, khimar, gamis, celana gantung memang berasal dari Timur Tengah, tetapi tidak ada masalah selama mereka mencintai tanah air ini dengan pembuktian pelaksanaan upacara yang diadakan oleh mereka. Saya tahu bahwa ada beberapa dari mereka yang kearab-araban menolak nasionalisme, mengharamkan hormat bendera, dan menolak menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Tetapi kita tidak boleh terjebak di kesalahan berpikir dengan menggeneralisasi semua yang kearab-araban anti nasionalisme, anti pancasila, dan anti kebangsaan.
Ada yang meragukan nasionalisme Pangeran Diponegoro hanya karena beliau memakai sorban dan jubah yang notabene adalah budaya arab? Ada pula yang meragukan nasionalisme Bung Karno yang mengenakan setelan jas padahal itu warisan budaya barat? Jika anti budaya arab tetapi pro budaya barat maka sebenarnya telah terjadi kontradiksi di dalam diri. Bukankah Tuhan menyuruh kita berbuat adil walaupun kepada mereka yang telah mendzolimi kita. Mungkin kita tidak senang dengan budaya arab yang sekarang identik dengan kaum intoleran. Tetapi yang harus kita ketahui perilaku itu hanyalah sebagian dan tidak semua. Patut juga kita ingat baik-baik bahwa arab, cina, maupun barat adalah budaya impor. Pakaian gamis, sorban, cadar, maupun jas tidak seharusnya dipersoalkan selama mereka mengakui sebagai bangsa Indonesia.
Bangsa ini tidak menutup diri dari budaya luar selama itu baik dan tidak meninggalkan identitas budaya lokal. Ada akulturasi maupun sinkretisme dalam proses itu dan telah berlangsung lama. Jadi jangan heran jika ada sekelompok masyarakat yang memakai "budaya impor" dalam pelaksanaan upacara peringatan 17 Agustus. Mereka menggunakan pakaian impor tetapi mereka bukan teroris. Mereka menggunakan pakaian impor tetapi mereka melaksankan upacara 17 Agustus yang saya yakin tidak semua bangsa Indonesia mau melakukannya. Mereka menggunakan pakaian impor tetapi mereka bukan koruptor. Mereka menggunakan pakaian impor dan tidak mengganggu stabilitas nasional. Semua itu harus bisa kita terima. Karena ketika kita tidak bisa menerimanya, maka koar-koar pancasilais yang sering didengungkan tidak ada artinya karena sesungguhnya tidak menerima perbedaan yang ada di masyarakat Indonesia dan saat itu pula kita telah menjadi intoleran dan anti pancasila karena anti keragaman.
Haruslah kita menerima cadar, khimar, celana gantung, gamis sebagai dinamika kebudayaan impor yang diterima oleh bangsa ini sebagaimana mana kita bisa menerima jas yang merupakan warisan budaya barat. Karena jika itu tidak bisa kita lakukan, maka patut dipertanyakan rasa toleransi kita kepada sesama anak bangsa. Adakah kita harus risau ketika Bung Karno berpidato menggunakan jas dan celana panjang padahal seharusnya menggunakan sarung yang merupakan budaya Indonesia?
Ada yang meragukan nasionalisme Pangeran Diponegoro hanya karena beliau memakai sorban dan jubah yang notabene adalah budaya arab? Ada pula yang meragukan nasionalisme Bung Karno yang mengenakan setelan jas padahal itu warisan budaya barat? Jika anti budaya arab tetapi pro budaya barat maka sebenarnya telah terjadi kontradiksi di dalam diri. Bukankah Tuhan menyuruh kita berbuat adil walaupun kepada mereka yang telah mendzolimi kita. Mungkin kita tidak senang dengan budaya arab yang sekarang identik dengan kaum intoleran. Tetapi yang harus kita ketahui perilaku itu hanyalah sebagian dan tidak semua. Patut juga kita ingat baik-baik bahwa arab, cina, maupun barat adalah budaya impor. Pakaian gamis, sorban, cadar, maupun jas tidak seharusnya dipersoalkan selama mereka mengakui sebagai bangsa Indonesia.
Bangsa ini tidak menutup diri dari budaya luar selama itu baik dan tidak meninggalkan identitas budaya lokal. Ada akulturasi maupun sinkretisme dalam proses itu dan telah berlangsung lama. Jadi jangan heran jika ada sekelompok masyarakat yang memakai "budaya impor" dalam pelaksanaan upacara peringatan 17 Agustus. Mereka menggunakan pakaian impor tetapi mereka bukan teroris. Mereka menggunakan pakaian impor tetapi mereka melaksankan upacara 17 Agustus yang saya yakin tidak semua bangsa Indonesia mau melakukannya. Mereka menggunakan pakaian impor tetapi mereka bukan koruptor. Mereka menggunakan pakaian impor dan tidak mengganggu stabilitas nasional. Semua itu harus bisa kita terima. Karena ketika kita tidak bisa menerimanya, maka koar-koar pancasilais yang sering didengungkan tidak ada artinya karena sesungguhnya tidak menerima perbedaan yang ada di masyarakat Indonesia dan saat itu pula kita telah menjadi intoleran dan anti pancasila karena anti keragaman.
Haruslah kita menerima cadar, khimar, celana gantung, gamis sebagai dinamika kebudayaan impor yang diterima oleh bangsa ini sebagaimana mana kita bisa menerima jas yang merupakan warisan budaya barat. Karena jika itu tidak bisa kita lakukan, maka patut dipertanyakan rasa toleransi kita kepada sesama anak bangsa. Adakah kita harus risau ketika Bung Karno berpidato menggunakan jas dan celana panjang padahal seharusnya menggunakan sarung yang merupakan budaya Indonesia?
Comments
Post a Comment