Menunduk di Hadapan Mereka

Tidak ada kekuasaan absolut di sistem pemerintahan Indonesia. Ada lembaga Eksekutif yang kau pimpin, ada lembaga Legislatif yang dipimpin oleh ketua DPR, dan ada lembaga Yudikatif untuk kekuasaan peradilan. Mungkin seperti itulah yang ingin kau tunjukkan dengan menundukkan badan di hadapan anggota DPR yang terhormat pada saat sidang tahunan di gedung DPR/MPR. Kau tidak sungkan untuk menunduk di hadapan lembaga pengawas seperti DPR sebagai bentuk penegasan jika dirimu bukanlah penguasa mutlak di Indonesia.

Kau tetap menunjukkan sikap hormat walaupun kadang-kadang ada saja anggota DPR yang terhormat mengkritik bahkan cenderung mencela fisikmu. Dan terbukti dengan doa yang dipanjatkan pasca sidang tahunan itu oleh salah satu anggota dewan dari fraksi partai dakwah yang menyindir fisikmu yang kurus. Mengapa bukan kinerja atau kebijakanmu yang dia sindir? Dalam kesalahan berpikir, sang pembaca doa ini terjebak di kesalahan berpikir argumentum ad hominem atau yang lebih mudahnya dipahami sebagai personal attack.

Tindakanmu ini pula sebagai tanggapan atas tudingan yang ditujukan kepada dirimu bahwa kau adalah presiden otoriter imbas dari keluarnya Perpu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Padahal ini semua kau lakukan untuk penyelamatan ideologi negara. Entah apa yang ada di pikiran mereka yang kontra dengan dirimu. Mungkin mereka tidak sadar bahwa ideologi negara sekarang dironrong oleh paham-paham kontra pancasila yang banyak berasal dari luar Indonesia.

Mengganti ideologi pancasila dengan ideologi tertentu seperti khilafah merupakan pengkhianatan terhadap warisan pendiri bangsa ini dan kau lakukan usaha preventif untuk menangkal itu. Tetapi sebagian orang bukannya mendukung kebijakanmu malahan menyebutnya sebagai tindakan otoriter. Apakah membubarkan ormas kontra ideologi negara adalah sebuah tindakan otoriter? Khilafah tidak ada bedanya dengan komunisme. Selain utopis dan sektarian, konsep khilafah menafikan nasionalisme dan imbasnya pada konsep negara bangsa Indonesia. Ini tidak ubahnya seperti konsep internasionalisme komunisme yang didengungkan oleh Freidrich Engels. Jadi masihkah kita mendukung konsep khilafah yang jelas-jelas bertentangan dengan pancasila terutama sila ke-3 tentang "Persatuan Indonesia"?

Simbol menundukmu pun dengan pakaian adat dapat saya maknai sebagai bahasa pelestarian budaya lokal. Kau tampar dengan halus para anggota dewan yang terhormat yang bangga dengan setelan jas dan dasi yang notabene budaya barat. Apakah mereka ini antek aseng seperti tudingan yang dialamatkan kepadamu? Padahal kita juga tahu sendiri jika mereka ini sang anggota dewa yang terhormat tidak ubahnya bagaikan pelajar di tingkatan Taman Kanak-Kanak seperti yang pernah disampaikan almarhum Gus Dur. Mereka pun anggota dewan tidak ubahnya seperti sekelompok manusia yang tidak memiliki etos pengabdian kepada masyarakat. Coba lihat si Fulan (seorang anggota dewan) yang dengan santainya tidur sewaktu kau menyampaikan pidato tahunanmu. Memang dia kerja seberat apa sampai ketiduran di ruang sidang yang terhormat. Kelakuannya mirip sapi, sukanya tidur dan badannya besar.

Terakhir ingin ku tulis, banyak makna yang bisa ditafsrikan dengan tindakan menundukmu di hadapan anggota dewan yang terhormat. Dan orang bisa menafsirkan macam-macam. Termasuk juga dengan perkataan satir seperti, "menunduk tapi menanduk". Beberapa anggota dewan yang terhormat itu mungkin tidak pernah paham dengan konotasi seperti itu karena mereka duduk dengan uang dan bukan dengan kapasitas.



Comments