Karena kebenaran itu...
Sebuah ungkapan Jalaluddin Rumi seorang tokoh Sufi dapat dijadikan bahan renungan untuk malam ini. Rumi berkata bahwa kebenaran itu adalah "Selembar cermin di tangan Tuhan, jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut kepingan itu, memperhatikannya, lalu berpikir telah memiliki kebenaran secara utuh".
Kadang manusia, dengan keegoisannya yang tinggi merasa benar sendiri dan telah mendapatkan kebenaran yang hakiki itu. Hanya karena merasa benar sendiri, maka melihat orang yang berbeda pun akan membuat dirinya merasa gelisah, resah, galau, bahkan yang lebih ekstrimnya berusaha menghilangkan identitas mereka. Sejarah dunia menggambarkan banyak peristiwa seperti itu. Kita bisa lihat bagaimana NAZI di Jerman berupaya menghilangkan jejak manusia selain ras Arya. Mulai dari propganda, pengusiran, hingga pembunuhan. Kita juga bisa melihat bagaimana masivnya pemimpin rezim Zionis berusaha menghilangkan jejak sejarah bangsa Arab Palestina dengan pengusiran dan pembunuhan.
Sentimen primordial semacam ini menggerus nilai-nilai kemanusiaan kita. Apakah pantas kita membenci seseorang hanya karena dia berbeda dengan kita. Tak ada diantara kita yang bisa memilih dilahirkan dari bangsa apa, ras apa, suku apa, maupun agama apa. Itu semua adalah warisan dari kedua orang tua yang harus kita terima.
Perbedaan adalah keniscayaan yang harus kita terima. Jika ada seseorang maupun sekelompok orang yang ingin mengubah heterogenitas menjadi homogenitas, maka tak ubahnya dia telah melakukan pembangkangan terhadap kehendak Tuhan. Seperti yang kita ketahui, bukankah hanya Tuhan yang tunggal? Jika benar, maka adalah sebuah anomali ketika ada orang maupun sekelompok orang yang ingin menyamai ketunggalanNya. Bukankah juga Tuhan telah menciptakan kita bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Apakah kita harus menyalahakan mereka yang lahir dari keturunan Arab maupun Cina padahal itu adalah sesuatu yang telah ditakdirkan oleh Tuhan. Saya bahkan tak pernah bisa mendapatkan bukti jika pada saat sebelum kita lahir kita bisa memilih dilahirkan sebagai orang Arab keturunan Nabi berwajah tampan dan lain sebagainya. Sungguh naif dan tidak beruntungnya kita ketika membenci perbedaan itu sendiri.
Mari kita merenung kembali tentang apa yang dikatakan oleh Jalaluddin Rumi. Bahwa kebenaran yang ibarat cermin itu yang pecah berkeping-keping dan kita memungutnya, kemudian kita mengira bahwa kita telah menemukan kebenaran utuh itu. Padahal ada orang lain yang mendapatkannya juga. Ada orang yang bisa mendapatkan kebenaran itu di masjid. Ada pula yang mendapatkannya di gereja. Ada juga yang mendapatkannya di pura ataupun di candi. Tidak salah juga ketika ada yang mendapatkannya di tempat lain. Ibarat kebenaran itu adalah sebuah kampus dan rumah ibadah itu adalah kendaraan ke kampus. Semua kendaraan akan sampai ke kampus ketika dia betul-betul konsisten dengan kendaraannya. Masalah kecepatan, setiap motor memiliki pengaturan kecepatan yang memungkinkan kendaraan itu dapat berfungsi dengan baik sesuai kapasitas kendaraan itu. Begitu juga dengan pencarian kebenaran. Kita bisa saja mengklaim bahwa rumah ibadah kita adalah tempat mencari kebenaran yang paling tepat, dan itu sah-sah saja selama kita tidak melihat rumah ibadah kaum lain seperti bangunan yang menjijikkan. Karena semua itu hanyalah metode untuk mencapai kebenaran keping-keping cermin Tuhan yang pecah itu. Bukankah ketika serpihan kepingan cermin itu disatukan akan tampak lebih indah.
Saya yakin ketika kita bisa melihat kebenaran itu secara menyeluruh dan komprehensif, maka tak akan mudah lagi kita menyalahakan dan membenci orang lain hanya karena perbedaan. Mereka bisa saja menyebut 9 dan kita menyebutnya 6. Mereka bisa saja menyebutnya Yahwe dan kita Allah. Mereka bisa saja meyakini weda dan kita Al Quran. Mereka bisa saja ikut pendeta dan kita ustadz. Mereka bisa saja pakai lonceng dan kita pakai beduk. Mereka bisa saja pakai jenggot dan kita tidak. Mereka bisa saja mengucapkan haleluya dan kita menyebutkan Allahu Akbar. Dan masih banyak bisa yang lain antara mereka dan kita yang harusnya membuat hidup ini lebih berwarna. Jadi jangan kita menjadi orang yang phobia terhadap simbol-simbol tertentu dari orang lain ataupun kelompok lain. Karena ketika kita menjadi phobia, maka seketika itu pula kita telah berusaha melawan kodrat heterogenitas Tuhan. Alangkah buruknya ketika kita melawan kodrat Tuhan.
Dan ingat, bukankah pelangi itu indah karena perbedaan?
Comments
Post a Comment