Bagi
saya pilihan Jokowi untuk menjadikan Maruf Amin sebagai cawapresnya pada
pilpres mendatang cukup mengejutkan. Walaupun Maruf Amin memang masuk sebagai
cawapres potensial Jokowi, tetapi namanya kurang terdengar. Justru nama seperti
Moeldoko, Muhaimin Iskandar, Mahfud MD, hingga Tuan Guru Bajang terdengar lebih
nyaring untuk disandingkan dengan Jokowi. Tetapi sekali lagi Jokowi membuat
keputusan yang kadang keluar dari prediksi banyak orang.
Dipilihnya
Maruf Amin sebagai pendamping Jokowi di pilpres 2019 membuat tidak sedikit dari
kalangan internal yang mempertanyakannya bahkan cenderung tidak sepakat. Basis Jokowi
yang memang banyak didukung oleh kaum minoritas yang kadang menerima persekusi
maupun mereka yang mendukung Ahok, merasa heran dengan keputusan ini. Bagi kaum
minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah, sosok Maruf Amin bukanlah sosok yang
ramah untuk kedua aliran ini. Fatwa MUI tentang status Ahmadiyah dijadikan
kelompok intoleran sebagai dasar untuk mempersekusi bahkan menyerang kaum
Ahmadiyah seperti yang terjadi di Parung, Bogor dan di Mataram. Walaupun sebenarnya
status MUI bukanlah lembaga negara yang fatwanya bisa dijadikan untuk
mempersekusi kelompok tertentu. Jadi sedikit atau banyak, Maruf Amin tetap punya
andil kekerasan terhadap Ahmadiyah.
Untuk
kasus Syiah yang terjadi di Sampang, MUI sekali lagi punya andil dalam kejadian
ini. Walaupun MUI pusat tidak pernah mengeluarkan fatwa sesat tentang syiah,
tetapi pendelegasian fatwa lokal MUI Jawa Timur terhadap status Syiah paling
tidak merupakan awal malapetaka ini. Fatwa MUI Jawa Timur tentang Syiah dalam
hal ini jamaah yang dipimpin Tajul Muluk telah menjadi semacam legitimasi
kelompok intoleran untuk melakukan penyerangan, persekusi, pengrusakan rumah,
hingga pembunuhan terhadap kelompok Syiah. Dan sampai saat ini, MUI pusat tidak
mengambil langkah-langkah taktis untuk memulangkan para pengungsi Sampang. Bahkan
cenderung pasif terhadap keinginan MUI Jawa Timur untuk merelokasi pengungsi ke
daerah lain dan bukannya melakukan rekonsiliasi.
Kemudian
Maruf Amin juga menjadi buah bibir ketika lembaga pimpinannya mengeluarkan
fatwa terhadap pernyataan Ahok di kepulauan seribu yang memicu demo
berjilid-jilid. Bagi ahoker, kejadian ini tidak akan bisa dilupakan begitu saja.
Karena lewat fatwa ini, Ahok akhirnya dipenjara karena diduga melakukan
penistaan agama bahkan hampir saja Jokowi juga ditumbangkan pada saat itu
karena dianggap melindungi Ahok. Coba banyangkan bagaimana sakit hatinya para
ahoker melihat Jokowi justru menggandeng orang yang menjadi pemicu
dipenjarakannya Ahok. Padahal kita tahu Ahok dan Jokowi adalah sahabat, tetapi
realitas politik justru berbicara lain.
Jadi
sebenarnya apa maksud Jokowi menggandeng Maruf Amin padahal kita tahu rekam
jejaknya tidak semoderat Gus Dur dalam melihat Ahmadiyah dan Syiah termasuk
golongan minoritas lainnya walaupun sama-sama dari NU. Maruf Amin juga ketika
terjadi demo 411 dan 212 adalah pihak yang mendukung walaupun kita tahu gerakan
itu banyak berafiliasi dengan gerakan intoleran. Mengapa Jokowi tidak mengambil
Said Aqil Siradj atau Mahfud MD saja yang lebih terbuka terhadap kelompok
minoritas dan paling tidak lebih proporsional dalam melihat kasus Ahok. Mari kita
mencoba memahami keputusan Jokowi ini.
Pertama
adalah kondisi perpolitkan yang mengharuskan Jokowi mengambil keputusan ini. Dengan
dukungan partai yang banyak, Jokowi harus mengambil calon yang bukan dari
partai politik untuk meredam kecemburuan partai pengusung. Selain itu umur Maruf
Amin yang sudah kepala tujuh, menjadikannya calon yang tidak terlalu dilirik
untuk pilpres 2024 dan sekali lagi partai pengusung Jokowi merasa aman disitu. Bayangkan
jika 5 tahun ke depan umur Maruf Amin sudah 80an tahun sehingga kapasitasnya
untuk berpolitik tidak terlalu besar. Hal ini berbeda dengan Said Aqil Siradj
maupun Mahfud MD yang usia mereka belum terlalu tua untuk menjadi sosok
potensial di 2024 kelak apabila menjadi pendamping Jokowi di pilpres tahun 2019.
Dan hal ini bagi kader parpol tentunya bukan kabar yang menggembirakan.
Kedua
adalah tentang kondisi bangsa saat ini. Isu pemerintahan Jokowi yang anti islam
hanya akan bisa dilawan dengan menunjuk seorang ulama menjadikannya sebagai
pendamping. Diksi anti islam paling tidak akan berkurang dengan hadirnya sosok
ulama sebagai pendamping Jokowi. Apalagi basis di belakang Maruf Amin adalah NU
sebagai ormas islam terbesar di Indonesia dan tentunya ini menjadi modal yang
cukup kuat. Mengapa bukan Said Aqil Siradj saja padahal ia juga bagian dari NU.
Tentu kita bisa paham jika Said Aqil Siradj bukanlah sosok yang ramah bagi
sebagian kelompok intoleran. Banyak pendapatnya yang kontroversi seperti
masalah jenggot yang justru bisa dijadikan sebagai senjata oleh lawan
politiknya untuk menyerang. Sedangkan Maruf Amin justru lebih dekat dengan
gerakan yang kontra dengan Said Aqil Siradj terutama di gerakan 411 dan 212,
dimana lembaga yang ia pimpin merupakan penggagas dari fatwa untuk Ahok.
Mengapa
bukan pula Tuan Guru Bajang (TGB) yang juga mempresentasikan ulama dan justru
sempat menjadi idola 212. Jawaban dari pertanyaan ini berkaitan dengan poin
pertama. Dimana TGB adalah sosok yang muda dan sangat potensial. Sehingga dengan
majunya TGB mendampingi Jokowi, akan menjadikannya sosok yang memiliki peluang
sangat besar untuk bertarung di pilpres 2024 dan tentunya ini menjadi alarm
yang kurang disukai oleh ketua-ketua parpol pendukung Jokowi. Dan jokowi sangat
memahami kondisi ini.
Paham
atau tidaknya kita dengan langkah politik Jokowi, tentu membutuhkan pemikiran
yang panjang. Saya paham bagaimana Syiah dan Ahmadiyah tentu tetap melihat
bahwa Maruf Amin merupakan tokoh yang tidak terlalu bersahabat dengan mereka. Tentu
pula para ahoker belum lupa bagaimana fatwa MUI pimpinan Maruf Amin telah
menjadi acuan untuk memenjarakan Ahok. Itu semua kejadian yang saya yakin tidak
mudah dilupakan. Tetapi harus kita pahami ada kepentingan besar yang harus kita
jalankan. Jokowi tetap memegang idealismenya dalam hal memimpin negara ini,
tetapi untuk urusan politik ia harus bisa berpikiran pragmatis. Seperti pendapat
yang berbunyi, “ politik bukan untuk memilih yang terbaik tetapi untuk mencegah
yang terburuk berkuasa”.
Langkah
Jokowi dengan menggandeng Maruf Amin saya yakin bukan langkah yang tepat di
mata sebagian kaum minoritas di negera ini, tetapi Jokowi harus mengambil
langkah itu. Jokowi harus memenangkan pertarungan ini karena situasi bangsa
yang mengharuskan itu. Kita tidak mau jika kepemimpinan puncak kelak jatuh ke
tangan parpol maupun gerakan yang berafiliasi dengan geradakan radikal dan
intoleran. Di dalam sebuah video, Mardani Ali Sera sebagai penggagas tagar 2019
ganti presiden bersama Ismail Yusanto sebagai mantan pengurus HTI mengungkapkan
di 2019 selain ganti presiden, mereka juga punya targetan untuk mengganti sistem.
Dan sudah jelas disni sistem apa yang mau diganti oleh Ismail Yusanto sebagai
pentolan eks HTI. Tidak jauh beda di video lain bagaimana Felix Siauw dengan
gambalngnya ia menyerukan di 2019 selain ganti presiden sekalian dilakukan
pergantian sistem. Dan lagi-lagi cara berpikri Felix Siauw tidak jauh beda
dengan Ismail Yusanto.
Jadi
pilihan golput sebagai ungkapan kekecewaan dengan pilihan Jokowi dalam memilih
cawapresnya bukanlah langkah yang tepat. Pilihan golput sama saja dengan
menyerahkan nasib bangsa ini kepada mereka yang radikal dan intoleran. Sudah cukup
dengan kasus kekerasan di Parung, Bogor, di Mataram, dan di Sampang, yang
terjadi semasa pemerintahan sebelumnya yang memang memelihara gerakan intoleran
ini. Hal ini harusnya menjadi pelajaran buat kita agar kasus kekerasan dan
persekusi tidak terjadi lagi di masa mendatang. Ingat, Jokowi adalah seorang
presiden dan berarti ia tetap menahkodai kepemimpinan nasional. Kita harus
bercermin di periode pertama bagaimana tongkat kepemimpinan tetap pada
genggaman Jokowi walaupun ia bergandengan dengan seorang Jusuf Kalla yang
dikenal sebagai politisi ulung dan bahkan SBY pun kewalahan menanganinya ketika
mereka berdua berpasang sebagai presiden dan wakil presiden. Kita tidak mungkin
membiarkan Jokowi berjalan sendiri melawan gerakan makar dan intoleran ini
sehingga kita tetap harus memberikan suara untuk Jokowi di 2019. Jokowi bukanlah
orang yang tidak punya celah dalam memimpin negara ini, tetapi paling tidak
untuk saat ini dialah orang yang berani melawan gerakan intoleransi dan makar dan
sangat berbeda dengan calon di sebelah yang justru menjadikan parpol dan
gerakan intoleran sebagai sekutu politiknya.
Sudahi
golput dan mari bersama-sama memenangkan Jokowi di pilpres 2019 mendatang. Agar
kepemimpinan Indonesia tidak jatuh di tangan kelompok yang berafiliasi dengan
gerakan radikal dan intoleran.
Comments
Post a Comment