Bagi
sebahagian orang, mereka lebih memilih cara pandang yang mengarah pada sentimen
pribadi daripada berpikir rasional terhadap sebuah persoalan. Bagi mereka
doktrin ini sudah terlalu kuat tertanam sehingga sangat sulit untuk keluar dari
situasi ini. Kita ambil contoh dalam serangan mereka terhadap pribadi Presiden
Jokowi. Mereka menuduh seorang Jokowi adalah antek aseng karena banyak
melakukan kerjasama dengan China. Mereka juga menuduh bahwa Presiden Jokowi
adalah antek komunis dikarenakan kedekatannya dengan Rusia sebagai induk dari negara
Uni Soviet yang dahulu merupakan salah satu negara komunis terbesar di dunia. Jokowi
juga dituduh sebagai pendukung syiah dikarenakan kedekatan Jokowi dengan Republik
Islam Iran yang bagi sebagian besar dari kelompok ini, melihat bahwa syiah
adalah golongan di luar islam. Benarkah memang seperti itu? Mari kita
analogikan dengan pemimpin dunia lainnya.
Sebagian
dari mereka yang gencar menuduh Jokowi sebagai antek asing, komunis, dan syiah adalah
pendukung Raja Salman yang merupakan raja dari Arab Saudi dan Presiden Erdogan
yang merupakan Presiden dari Republik Turki, sebuah negara sekuler di Timur Tengah.
Kita bisa melihat dari dukungan mereka terhadap segala bentuk kebijakan Arab Saudi
dan Turki terutama dalam beberapa isu di timur tengah mulai dari konflik Irak, Suriah,
Yaman, dan Bahrain. Bagi mereka, apapun yang dilakukan oleh Raja Salman dan Presiden
Erdogan adalah benar. Dan yang lebih ironis lagi, kebanyakan dari kelompok ini
membanding-bandingkannya dengan Presiden Jokowi. Raja Salman diagungkan karena merpuakan
seseorang yang telah menamatkan Al Quran sedangkan Jokowi hanyalah seorang pengusaha
kayu. Padahal jika kita berpikir lebih objektif, seorang pemimpin tidak
memiliki sangkut paut dengan keberhasilannya menamatkan bacaan Al Quran. Bukankah
dari kalangan ini ada yang menjadi pesakitan karena masalah sapi dan haji. Mungkin
mereka lupa bahwa Arab Saudi dan Amerika Serikat adalah sekutu dekat hingga
saat ini. Padahal umum kita ketahui bahwa AS adalah penghancur Negara-negara
muslim. Mulai dari Afghanistan, Irak, Libya, hingga yang terakhir ini Suriah. Mungkin
mereka juga belum tahu jika Raja Salman ini dengan liciknya pernah melarang
warga dari Iran, Suriah, Yaman, dan yang terakhir ini Qatar untuk melaksanakan
haji dikarenakan urusan politik yang nota
bane adalah urusan dunia. Bayangkan saja jika Jokowi memperlakukan hal itu
kepada Raja Salman ketika hendak berkunjung ke Indonesia, mungkin akan ada demo
berjilid-jilid yang jalan ceritanya bisa dijadikan novel.
Pun
begitu juga dengan Presiden Erdogan yang begitu dielu-elukan karena memiliki
suara yang bagus ketika melantunkan ayat suci Al Quran. Saya tidak habis pikir mengapa
kemampuan itu yang menjadi patokan kualitas seorang pemimpin negara dan tidak
melihat dari sisi kepemimpinannya dalam mengelola urusan negara. Bukankah Erdogan
yang memiliki suara merdu itu berteman dengan penjajah Zionis Israel sedangkan
pengusaha kayu macam Jokowi yang memimpin negara dengan populasi muslim
terbesar di dunia tidak ingin menghianati warga Palestina dengan tidak membuka
hubungan diplomatik dengan Zionis Israel. Bagaimana perasaan kita ketika
memilik sahabat yang ternyata berteman dengan musuh kita. Jadi masihkah
kualitas suara yang merdu akan membantu kemerdekaan bangsa Palestina. Sebenarnya
Erdogan tidak terlalu risau akan hal itu dikarenakan dia memang adalah seorang
oportunis sejati yang akan memanfaatkan setiap peluang yang ada. Sifat Erdogan
ini mengingatkan dengan mantan Presiden kita yang sangat lihai berpolitik
sehingga hampir tidak memiliki musuh politik ketika itu.
Dan
sekarang bagaimana jika kedua junjungannya ini justru berasyik ria juga dengan negara
asing, komunis, dan syiah. Apakah pemuja Salman dan Turkiyem (warga Turki
jadi-jadian) ini akan lantang bersuara menentang idola mereka. Saya berani
bertaruh dengan persentase bahwa hanya 0,1% dari mereka yang akan secara
terang-terangan mengkritisi idola mereka tersebut. Mengapa persentasenya
sedikit sekali. Tidak lain dan bukan dikarenakan akal dari mereka telah
dipensiunkan dini. Apapun yang dilakukan oleh Raja Salman dan Presiden Erdogan
itu benar adanya. Berteman dengan aseng seperti China bukan bentuk intervensi
terhadap urusan dalam negeri, tetapi ini merupakan proyek pengembangan ekonomi
yang bermanfaat. Juga berteman dengan negara penggagas komunisme macam Rusia
bukan berarti memasukkan ajaran komunis, tetapi ini merupakan bentuk kerjasama
sebagai mitra dalam memerangi terorisme di Timur Tengah. Pun begitu dengan
pertemanan dengan Iran sebagai mitra strategis di Timur Tengah sehingga tidak
ada alasan untuk memusuhi negara mayoritas syiah itu dan tentunya ini tidak
akan mengakibatkan Turki darurat syiah.
Dan
bagaimana dengan Jokowi di Indonesia. Hati-hati dengan aseng, komunis, dan
syiah. Inilah yang saya katakan argumentum
ad hominem (personal attack). Bagi
mereka sebenarnya, hampir segala macam yang dilakukan oleh Jokowi akan dianggap
salah karena konsentrasi kritikan bukan pada kebijakannya tetapi pada personal Jokowi
itu sendiri. Mau benar ataupun salah, semua akan dihukumi salah dan itu tidak
berlaku bagi junjungan mereka yaitu Raja Salman dan Presiden Erdogan. Inilah buah
dari gelap mata yang tidak akan mampu melihat sedikitpun kebaikan yang dibuat
oleh Presiden Jokowi. Seharusnya jika bisa mengkiritik Jokowi dikarenakan
bekerjsama dengan ketiga negara itu, mengapa hal itu tidak berlaku terhadap
Raja Salman maupun Presiden Erdogan sebagai panutan. Toh kerjasama yang
dilakukan oleh presiden Jokowi dengan ketiga negara itu demi kepentingan
nasional Indonesia sendiri.
Jadi
sebenarnya, kita itu tidak darurat aseng, komunis, maupun syiah. Tetapi kita itu
darurat akal. Ya kita darurat terhadap mereka yang telah memensiunkan dini akalnya
sehingga dengan mudah tersulut dan dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok
tertentu. Melihat fenomena ini, maka benarlah ungkapan dari seorang pemikir
islam terdahulu yaitu Ibnu Rusyd bahwa,
“Jika
kau ingin membodohi seseorang, maka bungkuslah kebodohan itu dengan agama. Niscaya
orang itu akan mempercayainya.”
Comments
Post a Comment